Senin, 27 Februari 2012

16.12.11

Pukul 3.30 pagi menjelang subuh, aku memandang keluar dari balik tembok kaca. Temanku menyapaku dan memberitahukan bahwa embun pagi ini indah sekali. Malam yang gelap tergantikan oleh warna putih pucat, angin yang berhembus pelan namun sangat menusuk tulang manusia ini. Membelai jiwa yang jauh dari surge. Bau tanah basah yang khas oleh embun, hampir sama dengan bau tanah hujan namun berbeda. Wangi akan indahmu tak kan terlupakan. Mata dan tubuh ini sudah tidak sanggup untuk bertahan besama keadaan ini tapi apa dayalah, manusia sudah terlena olehnya. Sulitku untuk melepas saat-saat seperti ini, aku begitu menikmatiknya. Sempat ketakutan akan berakhirnya ini, ya, pasti semua ini akan berakhir.
Adanya hingar bingar dari warung makan tetangga membuatku tahu bahwa mereka juga menikmati embun yang datang di pagi ini. Mereka melupakan bahwa mereka semua adalah manusia. Hanya rasa dan itu membuat manusia lupa akan jati dirinya. Dimana letak engkau berpijak wahai manusia? Janganlah lupa akan hal itu. Keindahan ini hanya bersifat fana bagi kalian. Namun aku adalah manusia yang sudah dipenuhi rasa yang kalian miliki, apakah ini aku sebagai manusia atau hanya keegoisanku? Wahai pohon tua, engakaulah yang merasakan saat-saat ini setiap keindahan itu datang. Beritahukanlah kepadaku, apakah aku bisa sepertimu? Kau tetap berdiri tegak melawan matahari, manusia berlindung dibawahmu. Angin saja hanya bisa membuatmu merasakan kesejukannya, topan dan badai tidak jg membuatmu jatuh. Bagi kami kau hidup selamannya, satu-satunya yang bisa membunuhmu adalah kemunafikan. Ketamakan dari manusia itu telah mengusirmu.
Wahai embun pagi ini, bolehkah hamba mengumpulkanmu hingga memenuhi botol yang sudah usang ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar